UNESCO-RI Komitmen Pertahankan Kelestarian Subak Warisan Budaya Dunia

24 Mei 2024 00:48
Author: redaksi

BADUNG, TRANS89.COM – United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) bersama Pemerintah Republik Indonesia (RI) berkomitmen merawat dan mempertahankan kelestarian sistem pengairan pertanian Bali atau biasa disebut dengan Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia.

Hal itu dikatakan Deputy Director General of UNESCO, Xing Qu saat menyampaikan sambutan dalam diskusi bertajuk, ‘Subak and Spice Routes: Local Wisdom Water Management,’ pada gelaran World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali Internasional Convention Center (BICC) Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali pada Selasa 21 Mei 2024.

Sistem irigasi Subak telah ada sejak ribuan tahun silam dan bertahan sampai kini karena dijaga secara turun temurun.

 

Pada 29 Juni 2012, UNESCO telah menetapkan Subak sebagai warisan budaya dunia, dan hingga saat ini tetap konsisten berkomitmen mempertahankannya.

 

Subak dikelola masyarakat adat Bali melalui mekanisme irigasi berlandaskan filosofi Tri Hita Karana (keseimbangan dan keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan) dinilai mampu menjadi contoh harmonisasi hubungan antara air dengan manusia.

 

“Salah satu upayanya, termasuk melakukan advokasi perlindungan warisan budaya terkait dengan air demi mengatasi tantangan permasalahan air di abad ke 21. Semuanya sangat terkait erat dalam konteks Subak,” kata Xing Qu dalam keterangan dikutip Kamis (23/5/2024).

 

Menurutnya, sejumlah inisiatif dan program dilakukan UNESCO dalam meningkatkan promosi dan edukasi terkait dengan bagaimana memanfaatkan air secara bijak.

 

“Inisiatif itu seperti dukungan pendidikan terkait dengan pengelolaan air, peningkatan kapasitas, dan memfasilitasi kerja sama air lintas batas,” tutur Xing Qu.

 

Ia memaparkan, upaya ini selaras dengan semangat yang digaungkan dalam World Water Forum ke 10 di Bali.

 

“Kita harus merefleksikan kembali bagaimana hubungan kita dengan air, bagaimana selama ini kita telah mengkonsumsi dan mengolah air,” papar Xing Qu.

 

Dirinya akan merilis inisiatif-inisiatif baru di Indonesia untuk mendukung pengelolaan air yang lebih berkelanjutan.

 

Xing Qu juga menyampaikan kekagumannya terkait dengan kehidupan masyarakat Bali selalu berhubungan erat dengan air.

 

“Sejak lahir hingga meninggal, berbagai upacara dan ritual dilakukan umat Hindu di Bali selalu melekat dengan air,” papar Xing Qu.

 

Dirinya menyatakan, jika masyarakat tidak lagi bisa mengakses air dan terjadi krisis, maka kondisi ini akan menjadi ancaman.

 

“Jika hal itu terjadi, dampak krisis air tidak hanya akan dialami oleh masyarakat di Bali saja sebagai pusat destinasi wisata dunia, melainkan juga berpotensi dialami masyarakat global,” ujar Xing Qu.

 

Saat diskusi, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Hilmar Farid mengungkapkan kearifan lokal soal tata kelola air sudah melekat di masyarakat Indonesia.

 

Selama ribuan tahun, Hilmar mengungkapkan, masyarakat Nusantara sudah mengolah air sebagai sumber utama kehidupan. Kearifan lokal ini menjadi ‘perpustakaan peradaban’ yang sangat besar dan menjadi pembelajaran serta bisa berkontribusi bagi masyarakat global.

 

“Apabila kita mau mempelajari khazanah itu dengan baik, saya yakin, kita semua akan bisa menemukan solusi atas permasalahan air yang kita hadapi saat ini,” ungkapnya.

 

Hilmar menjelaskan, Bali telah memiliki basis nilai pengelolaan air yakni solidaritas dan konektivitas.

 

“Mereka (masyarakat Bali) yang hidup di hilir dan menikmati air dari hulu juga harus bisa berterima kasih dengan masyarakat di hulu,” jelasnya.

 

Kata Hilmar, isu pengelolaan air sangat kompleks karena perlu penanganan komprehensif dan dibutuhkan kerja sama lintas negara.

 

“Subak bisa menjadi contoh yang baik karena sistem pengelolaan air ini menawarkan cara yang efektif dan berkelanjutan,” jelasnya.

 

Filosofi air bagi masyarakat Bali juga ditegaskan Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah) Indonesia Bali, I Ketut Eriadi Ariana bergelar Jero Penyarikan Duuran Batur saat menjadi pembicara mengatakan, masyarakat Bali menganggap air sebagai representasi manusia secara menyeluruh, baik di dalam maupun di luar.

 

“Ketika mata air hilang, pikiran orang Bali pun hilang. Ada teks kuno Bali membicarakan soal pengelolaan air dan berbagai aturan cara menjaga dan merawat air,” kata Ketut.

 

Ia mengungkapkan, Subak tidak hanya sekadar terasering, tapi merupakan bentuk solidaritas.

 

Sambung Ketut, dalam mengatasi berbagai tantangan isu air, butuh kolaborasi bersama, termasuk pemberdayaan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan petani, serta melakukan edukasi secara berkelanjutan.

 

“Saya tekankan bahwa tata kelola air dunia, harus didasari oleh nilai solidaritas dan konektivitas sehingga bisa keluar dari malapetaka air,” ungkapnya.

 

Selama penyelenggaraan World Water Forum ke 10, peserta dan pengunjung juga bisa menyaksikan pameran jejak rempah bertajuk, ‘Telu, Spice Market, Balinese Culture Art’ dan ‘Subak Cultural Landscpe,’ di Museum Pasifika, Nusa Dua, Bali, mulai tanggal 21 hingga 25 Mei 2024. (Nis)

BadungBaliDeputy Director General of UNESCODestinasi WisataDirjen Kebudayaan KemendikburistekHilmar FaridNusa DuaNusa Dua BaliPariwisataSawah SubakSubakTravelingUNESCOWisataWorld Water ForumWWFXing Qu

Berita Terkini