Seruni dan BEM Bali Desak Disahkannya RUU PKS

27 November 2020 00:43
Seruni dan BEM Bali Desak Disahkannya RUU PKS
Seruni dan BEM Bali unjuk rasa desak disahkannya RUU PKS depan Kampus Universitas Udayana Jalan Jenderal Sudirman, Kota Denpasar, Bali. (Riski/Trans89.com)
.

DENPASAR, TRANS89.COM – Sejumlah massa dari Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) dan BEM Bali dipimpin Nanda dan Dewa Gede Satya Ranasika dihadiri Direktur LBH Bali Vanny Primaliraning unjuk rasa depan Kampus Universitas Udayana (Unud) Jalan Jenderal Sudirman, Kota Denpasar, Bali, Rabu (25/11/2020).

Massa aksi membawa spanduk dan poster bertuliskan, lawan patriatik dan sahkan RUU PKS, 9 jenis kekerasan seksual yang dilarang oleh RUU PKS, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.

Orasi Dewa Gede Satya Ranasika meminta segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan penolakan terhadap penindasan terhadap kaum perempuan.

“Kami mengajak seluruh masyarakat khususnya di Bali untuk peduli pada kasus kekerasan seksual, pro penyintas, mahasiswa, dosen, jurnalis, buruh, tani, dan segala elemen agar RUU PKS di sahkan,” pinta Dewa.

Orasi Nanda, mengatakan Aliansi Seruni Bali mengecam keras atas kosongnya atau tidak adanya metode perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di Universitas Udayana, padahal kekerasan seksual merupakan jenis perbuatan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), jadi perlu adanya usaha penjaminan hak-hak korban.

“Kekerasan seksual adalah perbuatan melawan hukum dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan dan hak asasi seseorang,” kata Nanda.

Menurut dia, Universitas Udayana yang mengemban prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi seharusnya mampu mengakomodir mandat negara untuk mewujudkan ruang aman bagi civitas akademikanya, namun realitasnya, disaat semakin tingginya angka kekerasan seksual di Unud, hingga saat ini belum ada aturan legal untuk melindungi hak-hak korban ataupun memberikan sanksi tegas terhadap para pelaku.

“Bersamaan dengan perayaan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Seruni Bali mengeluarkan press release terkait hasil investigasi kekerasan seksual di Unud sebagai pertimbangan urgennya pembentukan peraturan Rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Kampus,” tutur Nanda.

Ia menyatakan, Seruni Bali melakukan investigasi khusus terkait kekerasan seksual di Universitas Udayana yang dilakukan sejak 11 Juli 2020 dengan metode survey melalui link bit.ly/Stop Bungkam dan chat secara personal ke kontak 082332531825, per November 2020.

“Kami sudah menerima laporan 22 korban kekerasan seksual, diantaranya 20 korban melapor melalui link yang tersedia dan 2 korban melalui chat personal. Seluruh korban adalah mahasiswa Universitas Udayana,” ujar Nanda.

Dirinya mengungkapkan, adapun pemetaan terduga pelaku sebagai berikut, 3 pelaku berstatus oknum dosen, 10 berstatus oknum mahasiswa, 1 berstatus oknum karyawan, 9 berstatus oknum masyarakat umum.

“Berdasarkan 15 jenis kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan, bentuk kekerasan seksual yang dialami korban meliputi 3 kasus perkosaan, 18 kasus pelecehan seksual, 3 kasus intimidasi bernuansa seksual, dan 2 kasus kekerasan berbasis gender online (KGBO),” ungkap Nanda.

Nanda menyampaikan, berdasarkan kronologis yang dilaporkan oleh para penyintas, maka dapat ditemukan berbagai macam faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual di lingkungan Universitas Udayana ataupun di luar lingkungan Unud.

“Pertama, mengakarnya ideologi patriarki yang menuhankan maskulinitas laki-laki. Kedua, rape culture yakni budaya kekerasan seksual dianggap wajar dan bukan persoalan kejahatan. Asumsi masyarakat biasanya adalah jika hanya sekedar menyentuh fisik tanpa melukai korban artinya perilaku tersebut bukanlah kekerasan,” papar Nanda.

Ketiga kata Nanda, timpangnya relasi kuasa atau ketidaksetaraan antara pelaku dan korban, kasus ini dapat kita lihat ketika oknum dosen pembimbing mengancam mahasiswinya tidak lulus apabila tidak mau menurut keinginan hasrat oknum dosen tersebut, keempat, budaya victim blaming yang menjadi sebab mendasar para penyintas tidak berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.

“Biasanya korban yang dituduh memancing nafsu pelaku lantaran baju yang dikenakan korban kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es yang tidak dapat diketahui dengan pasti jumlahnya, karena tidak semua kasus dilaporkan dan tidak tersedianya atau terbatasnya mekanisme pelaporan juga pencatatan kasus oleh otoritas yang berwenang di kampus, oleh karena itu diperlukan kejelasan dan ketegasan dari pihak Unud untuk melakukan penanganan dan pencegahan kekerasan seksual,” katanya.

Nanda menjelaskan, ketegasan dan kejelasan ini dapat ditempuh dengan membuat instrumen hukum yang mengatur terkait penanganan kekerasan seksual di Unud, akan tetapi sampai saat ini kampus belum memiliki regulasi yang jelas sebagai instrumen hukum dalam menangani dan mencegah terjadinya kekerasan seksual di kampus yang menyebabkan adanya kekosongan hukum.

“Kekosongan hukum yang dimaksud adalah tidak adanya instrumen hukum yang mengatur tentang kekerasan seksual di lingkungan kampus Unud. Padahal instrumen hukum sangat diperlukan untuk mengatur penanganan dan pencegahan kekerasan seksual secara jelas,” jelasnya.

Nanda juga menyebutkan, jika tidak terdapat jaminan keamanan dan kepastian hukum tentang kekerasan seksual, maka Unud telah melanggar mandat KUHP, UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan memiliki prinsip menjunjung tinggi HAM.

“Tanpa adanya instrumen hukum yang mengatur penanganan dan pencegahan kekerasan seksual, juga tidak terdapat kejelasan bagaimana kelanjutan dari pelaporan yang dilakukan korban dan bagaimana sanksi bagi pelaku,” sebutnya.

Nanda menyatakan, instrumen hukum juga dapat menjadi lahan untuk masuknya rekomendasi lanjutannya seperti pembentukan tim investigasi, layanan pendampingan, pemulihan hak korban, dan lain-lainnya.

“Berdasarkan pemaparan di atas, maka dengan ini kami Seruni Bali menyatakan sikap, mengecam keras Rektor Unud atas kelalaian pihak kampus dalam memberikan perlindungan dan penjaminan hak-hak korban,” ujar Nanda.

Nanda juga mendesak Rektor Unud agar segera mengeluarkan peraturan Rektor tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

“Kami mendesak pemerintah agar segera mengesahkan RUU PKS sebagai landasan hukum seluruh perguruan tinggi (PT) untuk mewujudkan ruang aman bagi civitas akademikanya.
Mengajak semua pihak (stakeholder) agar terlibat aktif dalam mengawal perlawanan terhadap kekerasan seksual,” tegasnya. (Riski/Nis)

Trans89.com adalah media online yang
menyajikan berita terbaru dan populer, baik hukum, kriminal, peristiwa, politik, bisnis, entertainment, event serta berita lainnya