Nakes Tolak RUU Kesehatan di DPR RI, Anggota Fraksi Demokrat Ikut Orasi

07 June 2023 00:29
Nakes Tolak RUU Kesehatan di DPR RI, Anggota Fraksi Demokrat Ikut Orasi
Tenaga Kesehatan unjuk rasa menolak RUU Kesehatan di gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat. (Urvan Akmal/Trans89.com)
.

JAKARTA, TRANS89.COM – Pengurus Besar Ikatan Apoteker Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) unjuk rasa.

Massa aksi dipimpin dr Mohammad Adib K, berlangsung depan gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/6/2023).

Massa aksi membawa spanduk dan poster bertuliskan, stop pembahasan RUU Kesehatan ancaman kriminalisasi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Kami butuh kesejahteraan dan perhatian pemerintah bukan RUU Kesehatan (OBL/Omnibus Law).

Tolak pencabutan UU 38 tahun 2014, tentang keperawatan di dalam pembahasan RUU Kesehatan. Tolak substansi RUU Kesehatan, tidak membuat perawat dan pelayan keperawatan lebih baik. Pilih presiden yang pro terhadap Nakes dan kepentingan kesehatan rakyat Indonesia.

Aksi ini kita persembahkan kepada pasien/masyarakat yang telah selamat dalam menghadapi covid 19, dan kita menolak lupa. Lindungi hak-hak perawat Indonesia, lindungi masyarakat. Mencabut Undang-Undang keperwatan sama dengan mencabut roh perawat.

Orasi dr Mohammad Adib K mengatakan, bapak ibu sekalian yang sedang duduk manis disana (gedung DPR) karena gaji dari kami. Kalian digaji untuk membuat kebijakan yang pro rakyat dan membuat negara ini maju, bukan untuk mengkhianati rakyat.

“Mungkin bapak ibu sekalian senang, bisa jalan-jalan keluar negeri menggunakan uang kami. Bagaimana bisa kalian berkhianat kepada kami,” kata Adib.

Menurutnya, kebijakan harusnya dibuat demi kepentingan rakyat, bukan kepentingan golongan. Kita lawan, kami terpaksa turun kesini, jangan salahkan kami.

“Bidan yang seharusnya membantu persalinan, dokter dan perawat yang membantu pasien,” tutur Adib.

Ia menyatakan, kalian wakil rakyat (DPR) bukan wakil oligarki dan penguasa, dan kami yakin orang-orang di sana adalah orang luar biasa, bukan orang sembarangan, orang pintar. Maka dari itu, kami mohon untuk mendengarkan suara kami.

“Kita semua di sini adalah wakil rakyat dan tenaga kesehatan (nakes) yang tidak bisa hadir disini, mereka hanya mendengarkan kelompok yang mendukung kebijakan pemerintah dan membungkam yang tidak mendukung,” ujar Adib.

Dirinya menyebutkan, tempat ini (DPR) adalah tempat pengaduan kita sebagai rakyat, kita akan menyampaikan aspirasi kita didalam gedung sana (DPR).

“Tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Kita yakin kita akan diterima oleh mereka (DPR), karena mereka juga merupakan wakil kita. Kita satukan suara, kita suarakan satu komando,” seut Adib.

Kata Adib, kita berpanas-panasan untuk berjuang agar tidak ada penderitaan dari RUU (Kesehatan) ini. Pada 20-30 tahun kedepan, pada saat covid, kita sebagai garda terdepan untuk mengatasinya.

“Tetap semangat dengan panasnya matahari demi kepentingan bangsa Indonesia. Semoga gerakan kita hari ini menjadi pahala untuk kita semua,” katanya.

Sebanyak 15 orang perwakilan massa aksi diterima audiensi dengan Irma Suryani Chaniago diruang Fraksi Nasdem gedung Nusantara I DPR RI.

Perwakilan massa aksi, Eka Erwansyah, Kusuma Januarto, Muhtaridi, Heru Herdiawati, Nunik Enadang, Jubaidah, Paulus Januar, Nirwan Satria, Sukman Tulus Putra, Achmad Evendi, Niko Putro, Pom Hari Satria, Lilik Yusup Indra Jaya, Duta Mahesa Parana Diva dan Fadli.

Nunik Enadang mengatakan, kami sudah menyampaikan aspirasi sejak September 2022. Biasanya regulasi yang mau dibuat oleh pemerintah, kami mengetahuinya dari media sosial (medsos).

“Kami tidak diberitahukan dan dilibatkan secara langsung. Namun saat itu tiba-tiba kami diminta masukan terkait pembuatan UU (Kesehatan) ini,” kata Endang.

Menurutnya, perlindungan dan kepastian hukum terkait UU Kebidanan, UU Praktek Kedokteran, dan 7 UU lainnya yang akan dicabut.

“Untuk memperjuangkan UU ini sudah berjuang selama 15 tahun. Dan inisiatif dari DPR dan pemerintah, UU ini akhirnya disahkan. Karena dicabut, kepastian hukum dan pelayanan akan terancam,” tutur Nunika.

Fadli mengatakan, ketika RUU (Kesehatan) itu beredar, tidak ada riak-riak yang dibeirkan oleh DPR kepada kami. Ini hanya sebagai kompilasi dari RUU sebelumnya.

“Muncul RUU versi lain yang berasal dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan timbul keributan. Kami apresiasi kepada Kemenkes untuk public hiring lewat Zoom,” kata Fadli.

Saat itu, kata Fadil memberikan aspirasinya, namun seluruh aspirasi tidak diakomodir ke dalam DIM (daftar inventarisasi masalah) pembuatan RUU ini.

“Sebenarnya, barang ini (UU) adalah barang sederhana. Kami sudah kaji isi pasalnya, dan kami merasa sudah dianiaya, padahal RUU ini belum disahkan,” katanya.

Fadil mencontohkan dokter di Lampung. Public hiring ini seperti formalitas yang diberikan kepada para tenaga kesehatan.

“Kami ingin semua didudukkan bersama-sama untuk membahas seluruh pasal ini. Ibaratnya, kami adalah anak yang menjalankan dan Kemenkes adalah orang tuanya. Padahal kami yang terkena dampaknya,” terangnya.

Eka Erwansyah mengatakan, sejak munculnya draft (RUU Kesehatan) dari 2022. Kami selalu menanyakan ke Badan Legislasi (Baleg) DPR terkait isi draft tersebut.

“Kami selalu berharap komunikasi. Kami tidak meminta kami dimasukkan ke dalam Panja (Panitia Kerja) DPR. Kami menginginkan adanya fair dalam kajian pembuatan RUU ini,” kata Eka.

Ia menyatakan, kami tidak hanya memperhatikan isu informasi, namun kami juga memperhatikan isu masyarakat, seperti aborsi, dan lain-lain.

Public hearing itu, kata Eka, tidak sesuai dengan UU, karena harus melewati didengarkan, diterima/ditolak, dan ditindaklanjuti.

“Kami khawatir produk ini (RRU) memberikan ancaman pada kepentingan bangsa ke depan. Kami bersepakat ini untuk kepentingan masyarakat. Kami ingin RUU ini tidak dilanjuti, dan harus lewat public hearing yang sesuai aturan,” katanya.

Tanggapan Irma Suryani Chaniago mengatakan, isi DIM ini tidak adanya tentang kriminalitas. Semuanya masih di dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

“RUU ini belum berlaku, mana mungkin ada penganiayaan yang sudah terjadi, karena itu tidak masuk akal,” kata Irma.

Menurutnya, RUU ini masih dibahas. Peraturan tentang dokter gigi sangat jelas di dalam RUU. Apalagi terkait gaji perawat yang hanya Rp500.000,00. itu sangat brengsek.

“Dalam RUU ini, insentif perawat di pelosok daerah juga kami perhatikan. DIM antara DPR dengan Kemenkes akan kami samakan. Apabila kurang bermanfaat akan dibuang,” tutur Irma.

Ia menjelaskan, ini sangat dipertegas nantinya. Justru tentang kepastian hukum akan sangat diperjelas. UU belum selesai, tidak boleh dilempar ke masyarakat.

“Oleh anggota DPR, satu narasi biasanya diributkan berjam-jam. Maka dari itu, UU yang masih dibahas tidak boleh diketahui oleh masyarakat,” jelas Irma.

Dirinya menyatakan, jangan sampai berprasangka buruk kepada parlemen (DPR). Kami tidak ingin RUU Kesehatan disamakan dengan UU Ciptaker (Cipta Kerja).

“Itu bukan hak Baleg, namun hak Komisi IX DPR RI. Baleg adalah AKD (alat kelengkapan dewan). Untuk ditarik (dibahas) ke Komisi IX itu tidak gampang, ujar Irma.

DIM yang dibahas di Kemenkes, kata Irma, tidak keseleuruhan dan mentah-mentah masuk ke DPR. Seluruhnya akan dilihat dan dijadikan referensi kembali.

“Apabila dibuka seluruhnya ke temen-temen semua, maka tidak akan selesai hingga 2 tahun ke depan. Kami semua menerima semua masukan yang diberikan kepada kami. Masukan saya terima, langsung saya buka kembali DIM yang sedang dibahas,” katanya.

Kata Irma, ke-farmasian itu dari Baleg. Kami harus perbaiki seluruh tata kelola yang tidak benar, yang bersayap-sayap itu harus dihapus.

“Kami paham betul dokter itu sangat dibutuhkan. Saya sendiri tidak sepakat apabila OP (orgnasisasi profesi) itu sangat banyak, karena tidak sesuai konstitusi. Namun tidak boleh satu OP, karena juga melanggar konstitusi,” katanya.

Tenaga asing yang masuk, kata Irma, tidak boleh diberikan cuma-cuma. Kami akan menanyakan dan meminta peraturan pemerintah. Kami tidak ingin kecolongan seperti UU Ciptaker.

“Tenaga asing tidak bisa sembarang masuk ke Indonesia. Kitakan juga menginginkan tambahan tenaga kesehatan dalam negeri. Sesuai RUU ini, kita akan langsung ke peraturan pemerintahan, tidak harus menunggu dua bulan kemudian,” katanya.

Irma mengungkapkan, pembahasan RUU ini tidak akan kami stop. Namun seluruh aspirasi temen-temen akan kami sampaikan. Tidak semua isinya buruk. Tidak seluruh hasil Baleg langsung kami masukkan ke batang tubuh RUU ini.

“Yang membuat UU ini adalah parlemen dan pemerintah, bukan kalian sebagai masyarakat. Namun apabila kalian menyampaikan aspirasi, pasti akan kami terima,” ungkapnya.

Selanjutnya Santoso dari Fraksi Demokrat Komisi III DPR RI dan Aliah Mustika dari Fraksi Demokrat Komisi IX DPR RI menyampaikan orasi depan massa aksi.

Santoso mendukung massa aksi untuk menolak pembahasan RUU Kesehatan serta meminta massa aksi untuk selalu berjuang terhadap penolakan RUU Kesehatan.

“Pemerintah telah melukai hati rakyat dengan melahirkan Omnibus Law Tenaga Kerja, dan sekarang pemerintah mengeluarkan RUU Kesehatan yang merugikan bangsa Indonesia. Maka dari itu, harus kita tolak bersama-sama,” terangnya.

Aliah Mustika meminta DPR RI agar mmenerima aspirasi dari perwakilan massa aksi.

“Kami meminta perwakilan rakyat mendengar aspirasi dan masukan massa aksi sehubungan dengan pembahasan RUU Kesehatan,” pintanya. (Irvan/Nis)

Trans89.com adalah media online yang
menyajikan berita terbaru dan populer, baik hukum, kriminal, peristiwa, politik, bisnis, entertainment, event serta berita lainnya