Aksi Kamisan SMI di Tugu Golo Giling Jetis Yogyakarta

08 January 2021 01:20
Aksi Kamisan SMI di Tugu Golo Giling Jetis Yogyakarta
Aksi kamisan SMI berlangsung di Monumen Tugu Golo Giling Jetis, Kota Yogyakarta, Provinsi DI Yogyakarta. (Joko Slamet/Trans89.com)
.

YOGYAKARTA, TRANS89.COM – Aksi kamisan dilaksanakan kelompok Sosicial Movemen Istitute (SMI) dipimpin Melki berlangsung di Monumen Tugu Golo Giling Jetis, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Kamis (7/1/2021).

Kelompok Aksi kamisan dari SMI membentangkan spanduk bertuliskan, mengutuk segala bentuk pemufakatan jahat, mengutuk kekerasan yang di lakukan oleh negara.

Massa membagikan pers rilis dan dibacakan Melki bertuliskan, gagalnya penghapusan diskriminasi rasial, siapa yang patut disalahkan?

Banyak yang tidak tahu tanggal 4 Januari kemarin merupakan hari bersejarah terutama pada masyarakat dunia dalam hal penerbangan nasional. Di kota New York, Amerika Serikat.

52 tahun yang lalu terjadi konvensi internasional penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial atau yang disebut international convention on the elimination of all forms of racial discrimination (ICERD).

Konvensi ini adalah konvensi hak asasi manusia (HAM) yang mewajibkan semua anggota konvensi untuk semuakan maskapai penerbangan dan mengembangkan pengertian diatas ras.

Konvensi ini juga memberikan kewajiban pelarangan penyebaran kebencian dan pengkriminalan keikutsertaan dalam organisasi rasis. Konvensi ini juga memiliki komunitas yang terjadi, sehingga telah berkembang suatu yurisprudensi mengenai penafsiran dan penerapan konvensi ini.

Konvensi ICERD disetujui dan dibuka untuk penandatanganan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 21 Desember 1965, dan berlaku pada tanggal 4 Januari 1969. Pada Oktober 2015, perjanjian ini telah ditandatangani oleh 88 negara dan secara total terdapat 177 negara yang telah menjadi negara anggota.

Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi ICERD. Berangkat dari realitas bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai ras, etnis, suku, budaya dan agama, ICERD diratifikasi menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 1999 tentang pengesahan ICERD 1965 (konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial 1965).

Selanjutnya, lahir UU nomor 4 tahun 2008, tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis nomor yang melengkapi pelaksana dari diratifikasinya ICERD oleh Indonesia.

Dalam prakteknya, nasionalitas menjadi gesekan yang semakin besar, angka kejadiannya semakin meningkat dan bentuknya yang beragam. Data dari Komnas HAM mencatat, rentang waktu dari tahun 2011 hingga 2018 ada 101 etnis dan etnis. Berbagai aduan publik tersebut termasuk beragam spektrum praktik yang menjamin perlindungan terhadap pelayanan publik, etnisitas etnisitas / identitas, pembubaran ritual adat, nasional atas hak kepemilikan tanah bagi kelompok minortas, dan akses ketenagakerjaan yang belum berkeadilan.

Bukan hanya itu saja, karena Indonesia meratifikasi ICERD, dalam pelaksanaan konvensi Indonesia diawasi langsung oleh Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on the Elimination of Racial Discrimination).

Komite penghapusan diskriminasi rasial sudah dua kali memberi peringatan kepada pemerintah Indonesia terkait kondisi kehidupan masyarakat adat Malind dan masyarakat adat yang lain di Merauke, Papua.

Masyarakat adat ini dampak negatif dari pengembangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada Oktober 2013.

Bukan di Papua saja, di DI Yogyakarta sendiri juga sering terjadi nasionalitas rasial. Contoh adalah seperti pelarangan WNI beretnis Tionghoa untuk memiliki sertifikat hak milik (SHM) tanah di Yogyakarta yang didasarkan pada Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/1/A/1975, tentang penyeragaman kebijakan pemberian hak atas tanah kepada warga negara Indonesia non pribumi.

Bukan hanya yang disebabkan oleh negara, tapi juga masyarakat sendiri yang pelaku penerbangan nasional. Lahirnya paradigma dan suku bangsa dan etnis dibeberapa daerah tertentu, membuat nasional menjadi gesekan yang sangat besar. Gesekan tersebut bahkan sampai berujung adu fisik antar golongan.

Kampanye-kampanye anti rasisme dan penghapusan diskriminasi rasial terus digaungkan, banyak gerakan-gerakan dan lembaga sosial masyarakat dan mahasiswa yang masih masif hingga saat ini atas nama kemanusiaan dan penegakan HAM.

Melki menyampaikan tuntutan, mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas segala bentuk nasional atas nama apapun.

“Kami mendesak pemerintah untuk menegakkan penghapusan segala bentuk nasional berdasarkan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mencegah segala bentuk diskriminasi terhadap kelompok atau golongan apapun,” paparnya. (Joko/Nis)

Trans89.com adalah media online yang
menyajikan berita terbaru dan populer, baik hukum, kriminal, peristiwa, politik, bisnis, entertainment, event serta berita lainnya