Aksi Solidaritas GEMPAR Untuk Terdakwa Dugaan Makar Asal Papua di Balikpapan, Tuntut Pembebasan Pejuang Anti Rasisme

17 June 2020 09:08
Aksi Solidaritas GEMPAR Untuk Terdakwa Dugaan Makar Asal Papua di Balikpapan, Tuntut Pembebasan Pejuang Anti Rasisme
Aksi solidaritas serentak mahasiswa untuk Papua tergabung dalam Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Anti Rasisme depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan Jalan Jenderal Sudirman, Kota Balikpapan, Kaltim. (Mas Ole/Trans89.com)
.

BALIKPAPAN, TRANS89.COM – Aksi solidaritas serentak mahasiswa untuk Papua tergabung dalam Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Anti Rasisme (GEMPAR) dipimpin Javier Christoffel depan kantor Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan Jalan Jenderal Sudirman, Kota Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim), Senin (15/6/2020).

Massa aksi membawa spanduk bertuliskan, hentikan pembungkaman kriminalisasi dan intimidasi dalam ruang demokrasi, negara melakukan pendekatan kemanusiaan dan membuka ruang dialog seluas-luasnya terhadap persoalan Papua, tegakkan keadilan dengan membebaskan pejuang anti rasisme di Balikpapan dan seluruh Indonesia tanpa syarat, bebaskan tanpa syarat 7 Aktivis Papua yang ditahan di Balikpapan dan seluruh Wilayah Indonesia.

Orasi Javier Christoffel menyampaikan, masih membekas diingatan tindakan rasis yang terjadi di Surabaya pada 16 Agustus 2019 terhadap kawan-kawan Papua yang memicu terjadinya juga aksi besar-besaran di Jayapura, Timika, Fak-fak dan Manokwari.

“Kejadian ini menunjukan dengan jelas bahwa negara masih belum mampu menciptakan tatanan masyarakat yang berkeadilan. Negara juga gagal dalam melindungi hak asasi manusia (HAM), dimana dalam hal ini yaitu menyatakan pendapat di depan umum, yang seharusnya dalam hukum nasional ada diatur seperti dalam pasal 28, pasal 28E ayat (2) dan (3) serta pasal 28F Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 1 angka 1 UUU Nomor 9 Tahun 1998,” papar Javier.

Menurut dia, para demonstran yang melakukan aksi dalam menyikapi tindakan rasis tersebut malah ditangkap. Beberapa diantaranya ada 7 demonstran yang ditangkap, yaitu Aleyandar Gobay, Steven Italy, Buktar Tabuni, Irwanus Uropmabin, Agus Kossay, Hengky Hilapok, Ferry Kombo.

“Hari ini mereka sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan dan mendapat tuntutan dari Jaksa penuntut Umum sebanyak 5 hingga 17 tahun penjara. Tuntutan ini tentu mengada-ngada, karena mereka orang yang sedang memperjuangkan keadilan di tanah Papua,” tutur Javier.

Ia menyebutkan, mereka ditangkap setelah beberapa hari aksi usai. Mereka dipenjara, jauh dari tempat asal dan keluarga. Bahkan beberapa diantara mereka adalah mahasiswa yang masih aktif kuliah.

“Mereka ditangkap dengan tuduhan dugaan kasus makar. Padahal aksi demonstrasi di Papua tidak bisa langsung diartikan sebagai suatu kasus makar, perlu ada tarikan sebab akibat dan melihat situasi dan kondisi maupun rentetan kisah yang telah terjadi,” sebut Javier.

Dirinya mengatakan, dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Indonesia menganut kedaulatan rakyat. Dalam pasal ini ditegaskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, dimana teori kedaulatan rakyat berusaha untuk mengimbangi kekuasaan tunggal, dan sumber dasar dari kedaulatan rakyat ini adalah demokrasi.

“Pembatasan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah masalah keamanan nasional yang hanya dapat dilakukan ketika terdapat suatu tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengancam keberadaan bangsa, integritas teritorial negara atau kemerdekaan politik,” kata Javier.

Javier mengemukakan, ancaman kekerasan yang bersifat lokal dan bisa ditangani melalui pendekatan hukum tidak dapat dijadikan alasan masalah keamanan nasional untuk membatasi hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.

“Maka apa yang dilakukan oleh ketujuh tahanan politik adalah satu bentuk penyampaian ekspresi politiknya sebagai perwujudan dari pelaksanaan hak kebebasan berekspresi dan kedaulatan rakyat yang dilindungi oleh negara,” ujar Javier.

Ia mengungkapkan, lalu dengan menilik pasal 110 ayat (4) KUHP yang didalamnya dijelaskan pembatasan terhadap tindak pidana makar yang mana, ‘barang siapa yang ternyata bermaksud hanya mempersiapkan atau memperlancar perubahan ketatanegaraan dalam artian umum dipidana’, hal tersebut melegitimasi bahwa peraturan pidana Indonesia mengakui adanya kegiatan atau tindakan yang merupakan cara mengubah bentuk pemerintahan yang konstitusional melalui jalan damai dan perbuatan demikian tidak patut untuk dipidana.

“Karena itu, demonstrasi anti rasisme yang dilakukan merupakan bentuk ekspresi politik dan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Kemudian yang dimaksud dalam pasal 106 tidak mencakup kegiatan yang merupakan cara mengubah bentuk pemerintahan yang konstitusional melalui jalan damai dan bahwa tidak semua perubahan bentuk pemerintahan patut untuk dipidana karena hal tersebut juga dapat dicapai melalui cara damai yang tak layak untuk dipidana,” ungkap javier.

Lanjut Javier, hal ini berimplikasi terhadap penegakkan hukumnya, sebab keputusan politik tentu saja berdasarkan kondisi politik, sementara apabila dicari pelanggaran hukumnya tidak akan ditemukan, yang ada hanyalah ungkapan bahwa pelanggaran tersebut adalah inskonstitusional, dan kami memandang bahwa apa yang dilakukan oleh 7 tahanan politik tersebut merupakan satu bentuk ekspresi politik yang dilindungi oleh aturan hukum.

“Maka dari itu, kami dari Aliansi Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Anti Rasisme menyatakan sikap, hentikan pembungkaman, kriminalisasi, dan intimidasi dalam ruang demokrasi. Negara melakukan pendekatan kemanusiaan dan membuka ruang dialog seluas-luasnya terhadap persoalan Papua. Tegakkan keadilan dengan membebaskan pejuang anti rasisme di Balikpapan dan di seluruh Indonesia tanpa syarat,” demikian Javier. (Ole/Nis)

Trans89.com adalah media online yang
menyajikan berita terbaru dan populer, baik hukum, kriminal, peristiwa, politik, bisnis, entertainment, event serta berita lainnya