Hegemoni dan Pertarungan Media Massa Dalam Politik Lokal

01 March 2020 18:24
Hegemoni dan Pertarungan Media Massa Dalam Politik Lokal
Mursalim Majid (Wakil Ketua PWI Sulbar)
.

Oleh : Mursalim Majid

(Wakil Ketua PWI Sulbar)

Media massa atau pers kerap menjadi medium yang efektif bagi para kontestan yang ikut dalam pesta demokrasi. Baik di panggung politik nasional maupun lokal seperti pemilihan kepala daerah ( Pilkada).

Dalam aspek Pilkada misalnya, media massa lokal kini berburu isu – isu politik untuk dijadikan satu framing berita untuk saling mengcanter.

Kepentingan publik untuk mendapatkan fakta – fakta informasi yang bermanfaat sebagai tujuan utama pers seakan terabaikan.

Media massa seakan sibuk dengan dirinya sendiri tanpa memikirkan otoritas publik.

Para pendukung atau tim sukses balon kepala daerah boleh saja panas diruang publik.Tapi media massa tetap berada pada posisi di garis tak berpihak. Sebagai pengawas tapi bukan sebaliknya ikut diawasi.

Sejatinya independensi pers menjadi hal yang urgen dalam merespon setiap kepentingan politik. Memberi ruang yang sama secara proporsional.

Pers harus mampu memetakan antara otoritas politik dan otoritas bisnis sebagai industri.

Kendati tak di pungkiri otoritas politik menjadi pertarungan media massa ketika kongklomerasi media masuk ke dapur redaksi.

Intervensi pemilik media ke dapur redaksi seharusnya tak terjadi. Kebebasan di dapur redaksi sepenuhnya tanggungjawab redaksi.

Tanggungjawab redaksi dalam pengelolaan konten berita betul – betul indepndent. Urusan bisnis harus di pisahkan antara berita dan iklan.

Bisnis adalah bisnis dan berita adalah berita. Dua aspek yang saling melengkapi tapi tidak saling menganggu.

Karena itu butuh pemahaman kepada semua pihak, agar konsep pengelolaan perusahaan pers tak sama dengan perusahaan bisnis pada umumnya.

Sebab pers diera perjuangan sangat jauh berbeda di era sekarang. Pers masa kini harus mampu memainkan kedua peran yaitu industri dan idealisme.

Satu realitas sosial bahwa pers tak hanya segedar menyampaikan pesan tapi harus tunduk pada kaidah jurnalistik.

Ketika pers menjadi corong kontestan pilkada, maka disanalah ruang pertarungan media massa. Membangun opini publik dan berebut simpati publik.

Bahkan calon pemimpin daerah, jauh sebelum pilkada dihelat media massa pun mulai merekontruksi opini publik terkait keunggulan calon kepala daerah.

Jka ada media massa yang mencoba menyorot kelemahan calon pemimpin tertentu. Maka media massa lain akan mengcanternya dengan enteng.

Wajah pers lokal yang seakan – akan larut dalam otoritas politik dan hegemoni media.

Dalam padangan Antonio Gramsci menyebutkan teori hegemoni berbagai relasi kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Lewat perspektiv hegemoni, akan terlihat bahwa penulisan, kajian suatu masyarakat, dan media massa merupakan alat kontrol kesadaran yang dapat digunakan kelompok penguasa.

Teori hegemoni tersebut satu realitas sosial yang amat sulit terhindarkan jika intervensi kekuasaan itu masuk ke ruang – ruang redaksi.

Karena itu dibutuhkan satu profesionalitas dan integritas para wartawan agar bisa berada pada posisi independent ditengah gempuran kepentingan politik dan bisnis.

Harus diakui pers sebagai kekuatan besar dalam mempengaruhi opini publik. Terlebih pada politik lokal yang bisa menjadi alat kekuasaan.

Intinya, kendati pers tak lepas dari satu kepentingan tapi etika adalah pilihan mutlak dalam kepentingan tersebut.(*)

 

Trans89.com adalah media online yang
menyajikan berita terbaru dan populer, baik hukum, kriminal, peristiwa, politik, bisnis, entertainment, event serta berita lainnya